Jadi gini. Gak mungkin saya posting di story gram, soalnya agak panjang kayaknya. Lebih enak di tulis di blog aja. Ini kan bulan April, sudah tanggal 22 April, tgl 21 April sudah berlalu, hari Kartini. Anak saya namanya Umar dapat tugas dari gurunya untuk pakai baju profesi. Terserah mau pilih apa. Pake baju dokter, pilot, masinis dan lain-lain. Terserah. Nah sebelumnya ada juga kayak gini, disuruh pakai baju profesi. Umar dipilihkan baju pilot. Dia suka. Nah sekarang iya lagi, disuruh pakai baju profesi, mamanya milih, mamanya Umar minta apakah ada baju pilot atau masinis. Kata tukang rental bajunya sudah ga ada, hanya tersisa baju politik dan tentara. Mama Umar ga suka. Alhasil kasak kusuk tanya sana sini. Termasuk ditanyalah gurunya Umar, apakah punya ide atau stok orang nge rental baju profesi. Keesokan harinya, pas mau jemput Umar, mamanya Umar diskusi sama gurunya Umar. Gurunya Umar: Ma, udah ga ada lagi baju masinis atau pilotnya. Sudah saya cari ke kenalan saya, tetap ga ada.
Tidak masalah saya ketika mendengar pertanyaan makan apa kita hari ini?. Yang saya permasalahkan jika sudah dihidangkan makanan yang ada di hadapan kita, kita tidak memakan sampai habis. Ini namanya tidak mensyukuri. Hari ini saya sedang makan, habis berbuka puasa dan sholat, saya sempatkan self reward. Makan sate kesukaan, namanya Sate Ponorogo. Sate kesukaan sejak zaman kuliah S2 di Surabaya. Yang akhirnya nostalgia kembali setelah menikah dan punya anak. Soal makan memang saya tidak memilih-milih. Jika lapar maka saya akan makan dengan nikmat, tidak pandang lauknya apa. Bagi saya itu sudah nikmat. Jadi ingat bahwa dulu memang sering diajarkan oleh orangtua, untuk soal makan tidak boleh pilih-pilih. Syukuri apa yang ada. Itu adalah pelajaran yang berharga. Suasana di warung Sate Ponorogo memang kadang panas karena suhu di Surabaya memang panas di momen tertentu. Namun tidak masalah. Justru ini ciri khasnya makan di wilayah Surabaya. Sambalnya juara tapi saya bukan penikmat sambal. Be